Beranda Ibu
Oleh: Dika Afandi*
Pada pagi itu mulanya
ibu sering ke beranda, tepat setelah aku bergegas ke sekolah. Entah apa, waktu itu aku ingin kembali sejenak ke rumah.
Aku lalu memutar arah. Ya, saat itulah,
dari jauh, kulihat ibu keluar, membuka pintu perlahan, lalu duduk sendu di
beranda, sendiri. Kuperhatikan dengan saksama, apakah kiranya yang akan
diperbuatnya kemudian. Apakah ia
menunggu seseorang, ataukah suatu hal lain—yang aku tak tahu itu apa?
Dahulu, semasih bapak
menjadi pegawai kantoran, ibulah yang selalu menyiapkan hal apa saja yang bapak
butuh. Mulai dari sarapan pagi, pakaian, memakaikan dasi bapak dan sebagainya. Namun,
sejak dipecat dan bapak beralih menjadi petani, semua pun berakhir, berubah
segalanya. Setelah subuh ia berangkat ke sawah, lengkap dengan cangkul dan
segala peralatan lain, juga berbekal sarapan yang telah ibu siapkan sebelumnya.
Terkadang bersama ibu. Terkadang pula aku yang membantunya bila libur sekolah.
Semua memang berubah.
Sering aku melihat ibu di beranda selepas pagi. Hingga pulang sekolah pun masih
kulihat ia di sana. Dan sejak saat itu pula aku melihat airmatanya menetes. Dari
jauh, aku melihat ibu sesengukan sendiri, lalu ia mengapus airmata itu dengan
lengan bajunya sesegera mungkin setelah aku di gapura rumah. Aku tahu ibu
sedang bersedih saat itu, tapi ia mencoba tidak menampakkannya padaku. Entah
suatu hal apa.
Maka, waktu istirahat,
aku memilih berdiam dalam kelas, tidak ikut berkabung dengan teman-teman. Aku
mulai teringat ibu. Ia pasti tetap di beranda, duduk sendiri dengan tatapan
sayu pada kejauhan. Tetapkah ia masih bersedih di sana? Aku pun kemudian
teringat bapak di sawah. Bekerja untuk menyekolahkanku. Berpanas-panasan. Dengan
penuh semangat ia memeras keringat untuk sebuah penghasilan yang ingin didapat.
Sesekali aku ingin ingin
membuat ibu tersenyum saat aku pulang. Ya, lalu kubawakan ia bunga krisan. Aku
tahu, ibu teramat suka bunga itu. Ia selalu menceritakannya dulu padaku, bahwa
semasih ibu dan bapak muda, bunga itulah yang diberikan bapak sebagai bukti
cintanya. Mereka lalu berpacaran. Tak lama setelah itu bapak melamarnya untuk
menyeriusi hubungan mereka. Mereka menikah.
Ibu tersenyum bahagia
saat kuberikan bunga itu. Saat ibu menerimanya, lalu aku berucap, “Bunga ini
kupetik untukmu. Sebagai
bukti cintaku yang terdalam padamu. Sungguh.” sambil aku menirukan ekspresi
bapak saat kali pertama memberi bunga itu padanya, dulu. Aku bertekuk lutut di
depan ibu.
“Kamu persis seperti
bapakmu dulu. Romantis, tapi agak polos!” ibu tersenyum simpul. Namun kemudian,
aku melihat gurat kesedihan di wajahnya. Kesedihan tu seperti tertahankan.
“Aku tahu ibu sedang
bersedih minggu-minggu ini. Kenapa, Bu? Mohon ceritakan padaku, barangkali aku
dapat meringankan beban ibu.”
“Hasan, sudahlah. Jangan pikirkan itu. Ibu takkan lagi
bersedih. Ibu janji!” tersenyum ibu berucap, lalu memelukku erat. Aku merasakan
hangat pelukannya. Besyukur aku masih mempunyai ibu. Banyak teman-temanku yang
tak punya ibu, tak punya bapak. Tak merasakan peluk dan kasih sayang yang lembut
dari orangtua. Aku bersyukur.
“Nak, kamu sudah dewasa. Tubuhmu tegap dan kokoh
berdiri. Sebentar ibu ibu akan tua dan rapuh, begitu pula dengan bapakmu. Maaf
bila kami...,” tercekat kemudian perkataan ibu. Matanya lalu berembun. “Ah, Nak,
kamu mau kuliah di mana setelah lulus?” ibu beralih tanya kemudian.
“Ya tetap seperti keinginaku dulu, Bu. Aku ingin
kuliah di Jogja.”
“Maaf, Nak. Bukannya ibu melarang, tapi kami terus terang
saja masih masih mengharapkanmu tetap di sini. Dekat-dekat dengan ibu dan
bapakmu.”
“Aku takkan melupakan kalian. Pasti beberapa bulan sekali
aku pulang. Kan juga tinggal nelepon jika kangen.”
“Kamu anak satunya-satunya ibu. Ibu tak ingin lama untuk
bisa memandangmu. Mungkin sebentar lagi ibu pun sudah pergi, menutup segalanya.
Meninggalkanmu dan bapakmu.
“Jangan berkata demikian, Bu. Ibu kenapa? Ibu...!” ia
berbatuk dan ada darah yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia pingsan. Saat itu
pula ayah datang, berlari menghampiri kami. Kami papah ibu masuk rumah, lalu
membaringkannya di kamar.
“Kenapa ibu, Pak? Ibu sakit apa? Kenapa ia tak pernah
bercerita padaku?” tanyaku gelisah. Bapak tak segera menjawab. Lama sekali
hening.
“Ibumu...
Ya, ibumu sakit kanker otak,” gemetar bapak berucap, “Tapi ia selalu menolak
untuk dibawa ke rumah sakit. Ia hanya diperiksa ke puskesmas dulu. Di rumah
sakit hanya membuat orang tambah sakit, begitu selalu ibumu berucap,” lanjutnya.
Mungkin sebab itulah ibu selalu berada diberanda.
Menghirup udara segar setiap kali ia sendiri. Sekarang aku paham kenapa ibu
kemudian selalu di sana. Ataukah ada hal lain?
“Hasan, ibumu sudah siuman. Sini, Nak!” aku berbalik
arah menghampirinya. sedari tadi aku berdiri di jendela, memandang beranda ibu
dari dalam.
“Pak, kenapa tiba-tiba di sini? Apa yang terjadi?”
“Ibu pingsan tadi, mungkin terlalu lelah. Istirahatlah
dahulu.”
Kami lalu meninggalkan ibu dalam kamar. Pergi ke
beranda, duduk dan bercerita berbagai hal di sana. Kukatakan keinginan
terbesarku untuk kuliah di luar kota. Kugambarkan akan indahnya kota budaya dan
pendidikan itu, baiknya pergaulan dan
perkembangan pendidikan di sana. Namun bapak pun menggeleng, “Sudahlah, kamu di
sini saja. Kuliah di sini kan sama saja. Lagipula ibumu sudah
sakit-sakitan. Bapak pun sudah tua, Nak. Di sini pun bapak yakin kamu pasti
sukses.”
Aku terdiam memikirkan apa yang dikatakan bapak, mencerna
dengan saksama ucapannya yang halus. Ya, sejak saat itulah aku tersadar.
Mungkin karena itulah ibu pula sering di beranda. Tak lain, juga karena memikirkan
masa depanku. Aku salah besar karena ucapan itu, mungkin membuat ia sedih.
Maka aku memilih tetap di sini, bersama mereka. Karena
juga kuakui, meskipun aku seorang lelaki, yang seharusnya merantau jauh dan
bisa mandiri, belajar dengan biaya sendiri. Tapi aku pun toh butuh kerelaan
orangtua. Mereka pun membutuhkan aku selalu di samping mereka. Berduka-lara,
tersenyum bersama.
Dan sungguh benar adanya. Di sini, meskipun aku tidak
kuliah jauh-jauh, aku pun bisa menjadi pandai, sukses. Terlebih, aku dapat
membantu mereka berkerja. Membiayai diri sendiri dan kelauarga dengan keringatku
sendiri. Meskipun toh itu takkan pernah cukup demi menggantikan jasa dan
perjuangan mereka hingga saat ini.
12 Mei 2014
*Penulis asal Romben Barat Dungkek Sumenep, alumnus MTs Tar-Shib Jadung
Dungkek dan lulusan MA Tahfidh Annuqayah (2014). Kini, masih begiat di KCN (Komunitas Cinta Nulis)
PP. Annuqayah Lubangsa Selatan. Email: dk.afandika@gmail.com
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen Dika Afandi - Beranda Ibu"
Posting Komentar